Kita Cemburu Pada Rakyat Irak

maskolis

Saya sebenarnya tidak begitu ngerti politik, tapi kondisi negara saat ini mengharuskan setiap warganya untuk membicarakan politik. Artikel ini saya ambil pada ceramah Emha Ainun Najib yang pernah singgah ke kampus waktu itu. Ada dua hal menarik yang beliau kemukakan saat itu sehubungan dengan kondisi negara kita. Pertama, demi nasionalisme dan kecintaan kepada Saddam Husein, yang dalam konteks Amerika kecintaan itu lahir karena senasib sependeritaan, mereka berani menjadi benteng terakhir yang menyediakan badan dan nyawa mereka untuk melayani serbuan Amerika Serikat. Kalau benar ribuan orang membarikade istana kepresidenan lantas benar-benar disikat oleh Amerika, sejarah akan mencatat kekejaman yang kelak akan menjadi bumerang bagi pelakunya.

Hhal kedua yang kita cemburui adalah karena musuh mereka bernama Amerika Serikat. Permusuhan itu tidak enak dan semestinya semua manusia tidak usah hidup jika hanya untuk tumpas karena permusuhan. Tapi kalau memang tak ada pilihan lain, hendaknya permusuhan itu petanya jelas. Seperti kita dulu melawan penjajah Belanda, segala sesuatunya relatif jelas. Kalau mau tembak-tembakan, tikam-tikaman, musuhnya jelas penjajah itu berasal tidak dari diri kita sendiri.

Jadi kecemburuan kita kepada rakyat Irak terletak utamanya pada kemantapan posisi mereka untuk menderita atau mati. Sedangkan penderitaan kita disini settingnya tidak jelas, dimana kita sendiri pada saat dan konteks tertentu terlihat sebagai penindas juga, saking ruwetnya struktur permasalahan bangsa kita ini. Salah satu keruwetan itu misalnya bahwa semua pihak yang menginginkan ada perubahan mendasar di negeri ini tidak kunjung menemukan cara.

Yang menginginkan perubahan, mohon diketahui, tidak hanya Anda yang orang biasa dipinggir jalan, tapi juga banyak bapak-bapak kita yang duduk di kursi pemerintahan, termasuk yang di tingkat atas sana. Saking ruwetnya, sampai-sampai ada yang iseng-iseng memanfaatkan kerusuhan, menungganginya sambil berguman, “Eeee…… siapa tahu Indonesia bisa berubah melalui ini……”

Atau ada yang memang merancang kerusuhan-kerusuhan itu sejak awal, dengan tujuan supaya menjadi “sebab sejarah” yang merangsang sebanyak mungkin pihak untuk kompak menyelenggarakan perubahan. Tapi ternyata hal itu belum terjadi sampai hari ini, padahal pengorbanan sudah sangat banyak. Ternyata masyarakat kita belum bisa menciptakan “dialek progresivisme” untuk secara sinergetik mensubyeki perubahan yang mereka perlukan.