Negara Itu Membuat Hidup Kita Lebih Gampang Atau Justru Lebih Rumit

Selama dekade yang tak tertentu sampai kapan keberlangsungannya, “kita” menyepakati suatu formula pembangunan yang pragmatis, yang membutuhkan efektivitas total. Rakyat jangan banyak cakap. Demokrasi jangan digagas terlalu ideal, cukup ornamen dan simbol-simbol tertentu saja yang kita perlukan untuk sopan santun retoris terutama di depan mata internasional, serta untuk “menjalantoli” pembangunan.

Kedaulatan rakyat harus diambangkan. Orang banyak jangan terlalu pinter dulu. Pendidikan politik nomer dua puluh tujuh. Budaya dan agama nomer dua puluh enam. Nomer satu adalah pembangunan ekonomi. Pembangunan politik dilaksanakan cukup pada batas dimana rakyat patuh pada setiap keputusan yang mereka tak perlu pahami, serta prinsip loyalitas tunggal untuk semua prajurit dan pegawai yang terlibat dalam barisan pembangunan perekonomian.

Tentu saja nanti ada dilema antara pertumbuhan dengan pemerataan. Nasi tumpeng dibangun dengan konsep vertikal, membengkak ke atas. Dan karena sesuatu dan lain hal maka bentuk nasi tumpeng dibalik yang diatas bengkak, yang di bawah ala kadarnya saja. Omset rupiah menggumpal 80% di Jakarta, selebihnya dibagi seluruh nusantara.

Kita tidak memiliki hubungan yang rasional dengan institusi zaman yang bernama negara. Tidak cukup mengerti persis apa yang disebut negara, kenapa ada negara, untuk apa ada negara, serta apa sebenarnya keterkaitan adanya negara itu dengan nasib kita. Kecuali persentuhan-persentuhan yang bersifat simbolik dan birokratis, mereka tidak bisa merumuskan apakah dengan adanya negara itu membuat hidup kita lebih gampang atau justru lebih rumit.

Sesudah adat istiadat dan tradisi moral yang membesarkan kita dalam bermasyarakat, negara menambahi aturan-aturan dan pembatasan. Ada banyak kewajiban sebagai warga negara, yang batas-batasnya belum jelas benar. Harus bikin KTP, bikin ini bikin itu, dan itu bukan formal birokrasi agar hidup kita gampang.

Di samping aturan dan kewajiban, ada “kawan”nya yaitu yang bernama “hak”. Namun ia tidak begitu populer di alam pikiran kita, karena memang tidak disosialisasikan secara serius oleh yang seharusnya mensosialisasikannya. Yang bernama negara itu sering tampil dalam kehidupan mereka bukan sebagai partner yang membimbing dan membantu mereka untuk hidup lebih enak. Padahal terkadang kita tahu bahwa aparat-aparat badan sejarah yang bernama negara itu dibayar oleh pajak kita. Dibayar untuk apa, kalau tidak untuk membantu kesejahteraan dan ketentraman juragannya?

Tapi anehnya para pembantu rumah tangga rakyat itu digaji justru untuk tiga keperluan. Pertama, untuk “Ge ER” merasa bahwa mereka adalah juragan dan rakyat adalah bawahan. Kedua, untuk menciptakan situasi dimana para juragan harus patuh kepada buruhnya. Dan ketiga, demi ketaatan itu, harus diselenggarakan rasa takut rakyat pada negara.

Benar-benar aneh, kalau para aparat bilang “Ini perintah”, ia merasa seolah-olah dulu Tuhan menciptakan pemerintah, lantas pemerintah menciptakan rakyat, sehingga rakyat wajib mematuhinya. Padahal yang harus dipatuhi oleh rakyat bukanlah pemerintah, melainkan kesepakatan-kespakatan yang bersumber dari kedaulatan rakyat sendiri, yang secara teknis pelaksanaannya dimandatkan kepada kumpulan-kumpulan pembantu rumah tangga yang disebut pemerintah.

Yang terakhir, negara dan pemerintah tidak pernah mampu menghadirkan dan menjelaskan dirinya kepada rakyat, karena pemerintah sendiri mungkin tidak mengerti atau mungkin sengaja melupakan hakekat itu. Dan kita dibesarkan oleh tumpukan ketidaktahuan tentang negara. Mungkin bahkan banyak di antara kita yang menyangka bahwa negara adalah ciptaan Tuhan, sehingga harus ada dalam kehidupan umat manusia. Maka kita terima negara itu dengan segala kemampuannya, sebagaimana kita menerima turunnya hujan menerima letusan gunung dan mengeringnya air sungai. Negara adalah bagian alamiah dan nasib mereka yang berasal dari takdir Tuhan.