Modal Utama Manusia Untuk Menjadi Muslim Bukan Al Qur’an
“Apa bekal utama manusia untuk menjadi Muslim yang baik?”100% menjawab: “Qur’an dan Hadits”.  Sungguh-sungguh sangat lama saya merindukan ada jawaban yang berbeda,  dan sampai hari ini belum Allah perkenankan. Memang begitu sucinya,  begitu sakral dan utamanya Kitab Suci Allah dan penuturan Rasul-Nya,  sehingga Ummat Islam kebanyakan lupa pada kalimat kecil di Kitab Suci  itu sendiri: “Sesungguhnya Aku menciptakan manusia sebagai masterpiece…”  Inna khalaqnal insana fi ahsani taqwim. Karya Allah yang tertunggal dan  tertinggi derajatnya bukan Malaikat, bukan Al Qur’an, melainkan manusia.
Tidak fair kalau bekal utama  manusia untuk menjadi Muslim adalah Al Qur’an. Pertama, jaman  pasca-Muhammad hingga sekarang jauh lebih singkat dibanding pra-Muhammad  sejak Adam AS. Kedua, kalau Qur’an adalah modal utama, harus kita  pastikan bahwa semua Nabi Rasul dan ummat manusia sebelum Muhammad  bukanlah Muslim. Dengan kata lain harus kita batasi kepercayaan dan  wacana Islam hanya dimulai sejak kerasulan Muhammad. Ketiga, AlQur’an  bukan makhluk hidup. Ia tidak bisa menjadi subyek aktif atas proses  berlangsungnya kehidupan manusia. Al Qur’an bukan pelaku perubahan,  pembangunan, sejarah dan peradaban ummat manusia. Al Qur’an itu alat  perubahan.
Dengan sedih terpaksa saya katakan bahwa modal utama manusia untuk menjadi Muslim bukan Al Qur’an, melainkan akal.
Keempat, untuk menyebut secara sederhana: Al Qur’an 100% sia-sia bagi manusia yang tidak menggunakan modal utamanya sebagai manusia, yakni aktivitas akal. Al Qur’an jangan disodorkan kepada kambing, meskipun ia punya otak. Sedikit ke cabang: otak itu hardware. Untuk membuat otak melakukan pekerjaan berpikir, diperlukan software yang bernama akal. Al’aql. Akal tidak terletak, atau sekurang-kurangnya tidak berasal usul dari dan di dalam kepala manusia, melainkan berasal dari semacam mekanisme dialektika yang dinamis dari luar diri manusia, mungkin semacam gelombang elektromagnetik yang berpendar-pendar di seluruh lingkup alam semesta, namun dikhususkan menggumpal dan mengakurasi ke seputar ubun-ubun kepala setiap manusia.
Oleh karena itu prinsip utama menjalani  Islam adalah ijtihad. Kalau jihad itu segala upaya perjuangan manusia  menghidupi kehidupan. Ijtihad itu perjuangan intelektual. Mujahadah itu  perjuangan spiritual. Ratusan kali Allah memfirmankan “Apakah engkau  tidak berpikir?” “Apakah engkau tidak menggunakan akal?”. Masyarakat  Barat dan Jepang Korea Cina sangat aktif melakukan ijtihad dan menguasai  peradaban. Kaum Muslimin terlalu aktif bermujahadah tanpa imbangan  ijtihad sehingga produknya adalah dekadensi dan inferioritas. Tetapi  memang tidak mengherankan jika Ummat islam stuck dalam hal ijtihad.  Alfikr itu pikiran, kata kerjanya yatafakkar, berpikir. Al-aql  itu akal: bahasa Indonesia hanya kenal kata kerja “mengakali” dari  kata dasar akal. Mengakali itu pekerjaan sangat mulia: ialah memandang  dan memperlakukan segala sesuatu dengan daya akal. Tetapi “mengakali”  dalam bahasa Indonesia adalah menipu, mencurangi, menyiasati dalam  konotasi negatif.
Agak aneh Allah memerintahkan  “Taatilah Allah, Rasul-Nya dan ulil amr di antara kalian”, tetapi yang  terjadi adalah ketaatan kepada para penerus Rasul atau yang dianggap  oleh umum atau yang menganggap dirinya penerus Rasul — namun tanpa  tradisi ijtihad, sementara ulul amr, “petugas urusan-urusan” tak pernah  ditegasi konteks dan subyeknya. Apakah Ulama mengurusi petani dan  pertanian sehingga ditaati? Apakah Ustadz mengurusi pasar dan  penggusuran sehingga dipatuhi? Apakah Kiai mengurusi, menguasai,  memahami, mengerti dan mendalami teknologi, industri, ketatanegaraan,  konstitusi dan hokum, pemetaan sosial masyarakat, hutan, sungai, laut,  sehingga dipatuhi?
Hampir tak pernah terdengar fatwa  tentang kehidupan nyata manusia dan masyarakat. Barusan ada fatwa satu  tentang nuklir: cabang bilang haram, pusat bilang halal. Bagaimana kok  ada organisasi cabangnya haram pusatnya halal. Bagaimana ada makhluk tak  jelas Malaikat atau Setan. Ada satu lagi saya simpan fatwa tentang jual  beli dang ganti rugi: mudah-mudahan jangan ada versi counter  fatwa, karena fatwa itu tidak didasari konsiderasi ilmiah dan penelitian  rasional apapun.
Islam tumbuh di Musholla dan Masjid,  bertahan kerdil dalam kesempitan dan kejumudan. Pengadilan Agama hidup  dari konflik-konflik rumahtangga, tidak berususan dengan keadilan  keuangan rakyat, dengan keadilan atas sungai dan hutan, dengan keadilan  politik, perekonomian, ekosistem, internet — sesekali muncul dari pintu  belakang fatwa dan pernyataan keadilan halal dan haram tentang Presiden  wanita haram, beberapa tahun kemudian berbalik menjadi halal berdasar  sisi kepentingan yang sedang disangga.
Pemain-pemain sepakbola diidentifikasi,  diuji, dianalisis dan dipilih oleh expert sepakbola, pelatih  dan official. Kiai, Ulama, Ustadz diidentifikasi, diuji,  dianalisis dan dipilih berdasarkan mata pandang industri dan kepentingan  komersial. Orang Islam terlalu jauh meninggalkan akal sebagai modal  utama kemuslimannya. Mereka salah sangka terhadap Al Qur’an, dan kurang  peka memikirkan kemungkinan bahwa Iblis dan Setan sejak jaman dahulu  kala sudah fasih membaca Quran dan mungkin menghapalnya, sebagai satu  bagian strateginya untuk mengalahkan manusia.
 

 
 
 
Post a Comment