Kenyataan Nasional Melalui Lapangan Sepakbola

Dari 300 juta warga bangsa ini dijamin memiliki sangat banyak anak-anak bangsa yang sangat potensial untuk menjadi presiden, menteri, pangab, dirjen, gubernur, camat atau carik. Untuk itu, kita harus menata suatu sistem yang menyediakan peluang bagi setiap potensi itu agar berkembang maksimal, kemudian menyiapkan struktur otoritas politik, budaya dan ekonomi yang sedemokratis mungkin, sehingga potensi-potensi itu bisa mengaktualisasikan dirinya seoptimal mungkin. Harus kita ciptakan pola-pola kualifikasi yang obyektif dan adil, sehingga pendayagunaan SDM bangsa kita bisa akurat dan efektif.

Kalau tatanannya tidak adil, kalau mekanismenya bisa dibelok-belokkan oleh nepotisme dan ketidakmerataan ekonomi, kalau penyediaan lapangan otoritas kesejahteraannya pilih kasih, maka realitas bangsa dan negara kita bisa lucu selucu-lucunya. Orang yang sebenarnya berbakat baik dan terampil memimpin suatu departemen, berkembang paling-paling jadi tukang ojek. Sebaliknya orang yang sebenarnya cukup jadi mantri hewan dan bisa bermanfaat secara possitif disitu, malah bisa naik sampai ke balaiurung keraton dengan jabatan keprajaan yang tinggi, bahkan darahnya langsung dikasih zat pewarna biru.

Bahasa jelasnya, siapa saja dengan kadar potensialitas yang seberapapun bisa menjadi apapun asal ia anaknya siapa atau keponakan siapa. Kalau mutu kualifikasi fungsi-fungsi tidak terkontrol oleh tegaknya demokrasi politik, keliaran larinya aset ekonomi serta oleh batas-batas budaya dan etika, dan kita semua setanah air sudah terbiasa dan kebal dengan itu semua, maka kita bisa tetap tidur nyenyak meskipun sudah ada pergantian-pergantian penting di pucuk kepemimpinan kita.

Kita semua bisa tidak terbangun dari kantuk kita meskipun nasib kita diwakili oleh orang-orang yang tidak kita kenal dan tidak mengenal kita, oleh orang yang tidak pernah mendapatkan izin dari kita untuk mewakili kita, serta tidak pernah menanyakan apapun mengenai nasib kita.

Soal-soal besar yang terjadi dalam skala nasional tidak membuat lelap tidur kita bergeming, kerena sedemikian tidak relevannya itu semua terhadap nasib kita. Atau karena memang diri kita semua ini tidak pernah dianggap penting oleh orang-orang yang mewakili kita dan memimpin kita. Kita adalah “ketua” yang tidak diacuhkan oleh wakil kita. Kita adalah rakyat, yang derajatnya tertinggi dalam struktur otoritas dalam suatu negara, namun tidak pernah dinomorsatukan. “Kedaulatan Rakyat” hanyalah nama koran tertua yang terbit di Yogyakarta. Alhasil bagaimana rupa dan jalanya sistemlah yang menentukan pola, formula dan arah aktualisasi potensi-potensi.

Adapun teori yang paling akurat dan simpel untuk dipakai menjelaskan masalah kepemimpinan adalah pendekatan sepakbola. Kalau anda berminat, marilah bersama saya menelusuri berbagai kenyataan nasional melalui lapangan sepakbola. Misalnya, yang main sepakbola hanya 22 orang ditambah sejumlah pemain cadangan. Anda dan saya bersama ratusan juta orang lain hanyalah penonton di pinggir lapangan atau didepan layar TV.

Yang memegang kekuasaan dalam permainan sepakbola sebenarnya tertentu karena sudah ada aturannya. Umpamanya pemain tidak berhak membunyikan peluit dan wasit tidak boleh menendang bola. Anda dan saya tidak boleh menendang bola dan meniup peluit. Tapi kalau anda punya cukup uang, anda bisa masuk ke balik layar, ikut mafia judi skor, dan anda bisa mengatur kiper untuk beberapa kali membiarkan bola masuk. Mengatur striker untuk menendang keras-keras namun sengaja tak dimasukkan ke gawang. Mengatur wasit agar memberikan hukuman tendangan penalti tanpa sebab yang jelas. Mengatur hakim garis agar mengayunkan benderanya tanda offside meskipun kenyataannya onside.

Atau sekalian saja masuk ke konstelasi otoritas gelap persepakbolaan yang lebih luas. Yang anda atur bukan hanya skor gol, tapi juga siapa yang harus main dan siapa pemain yang jangan turun ke lapangan. Anda bisa atur siapa wasitnya, siapa hakim garisnya, untuk suatu jual beli yang berlevel tinggi. Tak sekedar dagang gol, tapi kelas pengusaha sepakbola yang skala kekuasaannya luas dan tinggi, yang bahkan bisa dikaitkan dengan akses-akses non sepakbola di bidang politik dan kepengusahaan makro.

Jika ada orang yang bertanya kepada anda tentang kepemimpinan nasional di bidang politik atau konglomerasi, saya sarankan anda menjawab dengan menggunakan teori kotak penalti. Begini, anda adalah seorang pemain sepakbola yang handal, terampil, skill tinggi, kepekaan jenius, jujur dan sportif. Tapi anda berada di pojok sawan nun jauh dari lapangan sepakbola. Atau anda hanya bisa mendongak-dongakkan kepala dari balik tembok tinggi tebal pinggiran stadion. Anda jagoan, bisa jadi kiper, bisa gelandang, bisa siap serang di depan. Kemampuan giring bola anda mumpuni, jenis-jenis tendangan anda tak kalah lawan Zidane, Messi, atau Cristiano Ronaldo. Kelemahan anda cuma satu : anda tidak berada di lapangan sepakbola dan bola tidak pernah lewat di depan kaki anda.

Sementara ada sahabat anda sesama hamba Tuhan yang begitu lahir procot sudah tergeletak di kotak penalti. Dia nangis kakinya bergerak kesana kemari, tiba-tiba bola terkena oleh kakinya dan masuk gawang, karena kipernya tidak berani menangkap bola itu. Jika bayi itu semberut saja, tiba-tiba ada banyak bola datang ke dekat kakinya, dioperkan oleh pemain-pemain lain yang khawatir terlempar dari lapangan bola kalau sampai tidak mengoperkan bola ke kaki sang bayi. Jumlah bola di lapangan juga tidak hanya satu. Bisa banyak, bisa berapa saja tergantung petunjuk. Alhasil, sang bayi bisa dengan sengaja atau tanpa sengaja menciptakan gol-gol sebanyak-banyaknya. Dan anehnya para penonton menyorakinya gegap gempita seolah-olah gol itu diciptakan oleh Maradona.

………………………………………………………………………………………………………….
………………………………………………………………………………………………………….
………………………………………………………………………………………………………….

Anda yang mengisi titik-titik diatas