Namanya Melisa
Namanya Melisa. Hanya itu, tak ada yang tahu apakah itu nama aslinya atau nama karangan belaka. Tak ada yang, tepatnya tak mau tau, apa nama panjangnya. Bukan asli penduduk Jakarta. Konon kabarnya, ia berasal dari Wonosobo, Jawa Tengah. Sebenarnya ia wanita yang biasa-biasa saja. Kehidupan sosialnya, perekonomiannya, pergaulan kesehariannya, pendidikannya, hobinya, nyaris membosankan, malah. Mungkin yang sering dibicarakan adalah bahwa ia sedikit lebih cantik dan lebih santun daripada rekan-rekan sekerjanya. Selebihnya, sangat biasa-biasa saja. Tetapi kini ia membuat heboh baik teman-teman sekerjanya maupun para pelanggan : Ia mengenakan jilbab.
Bukan apa-apa, sebab di lingkungan kerjanya, di "Raja Bilyard", seorang pekerja wanita seakan sudah menjadi mitos bahwa mereka haruslah berlaku seperti layaknya "wanita penghibur". Padahal mereka jelas lebih terhormat dari "wanita penghibur" bahkan, walaupun ia "wanita penghibur" sekalipun, ia harus dihargai sebagai manusia yang juga punya hak untuk menerima dakwah dan hidayah Tuhan.
Tugas para pekerja wanita itu hanyalah mencatat skor, menata bola bilyar, melayani segala keperluan pelanggan seperti minum dan lain sebagainya. Hanya itu, tetapi seakan sudah ada imej dalam diri masyarakat bahwa mereka bukan orang baik-baik alasannya cukup kuat, mereka bekerja hingga larus malam, disana tersedia minuman keras, kerja di tengah lautan kepulan asap rokok, mereka melayani pria-pria kasar yang tidak jelas juntrungannya dan terkadang tidak sopan, terkadang senda gurai mereka berlebihan. Itulah yang ada di kepala hampir setiap warga baik-baik di lingkungan sekitar tentang tempat bilyar itu dan pekerja wanitanya. Dan tiba-tiba Melisa memakai jilbab. Ah, alangkah anggunnya dilihat dari kejauhan.
Tak mudah bagi Melisa untuk memutuskan sebuah ketetapan. Jika ia tetap bertahan dengan jilbabnya dan meninggalkan pekerjaannya detik itu juga, sama saja dengan bunuh diri. Sebab mencari lowongan pekerjaan teramat susahnya jaman sekarang, bagaimana ia bisa untuk sekedar bertahan hidup? Jika ia tetap bekerja disana sambil berjilbab dan sambil menunggu jawaban lamaran pekerjaan, maka ia akan didera seribu topan badai cemoohan dan ejekan. di samping itu akan membawa citra buruk jilbaber dan ia tak mau menjadi sumber fitnah. Dan belum tentu bosnya bisa menerima realitas bahwa salah satu pegawainya memakai jilbab. Ia tadinya ingin menunda pemakaian jilbabnya, sampai ada kabar ia diterima di tempat kerja lain dan menjamin kebebasan jilbabnya, tetapi sampai kapan ia menunggu?
Sebenarnya ada tawaran bekerja di TPA, tetapi entah mengapa ditolaknya. Tidak sreg karena ilmu agamanya belum matang, sebab ia sendiri baru saja belajas Islam, begitu alasannya. Lagi pula apa kata dunia, sebuah institusi pendidikan agama diajar oleh mantan pekerja di tempat bilyar.
Bagi kebanyakan orang, ia dan yang sejenisnya ibarat sampah masyarakat. Nyaris tak ada yang peduli dengannya, dengan keimanannya, dengan perjuangan bertahan hidup, dengan pergumulannya dengan nasib buruk, dengan pergolakan-pergolakan pemikiran, nurani hati dan ruhani dengan pengorbanannya menghidupi orang tua dan saudaranya di desa.
Post a Comment