Bakwan Jengkol
ketika yang lain begitu perih mencari sepiring dua piring makanan.
kita malah mempertontonkan kemawahan.
"Duuuh.....yang cari uang cebanan udah pulang." goda Cing Kocot. Mpok Kimul yang digodain, mesem. Gantian, dia ngegodain Cing Kicot dengan ngipas-ngipas uang cebanan yang dia dapet.
Cing Kicot ini bibinya Maemunah, istri Luqman. Sebenarnya, namanya bagus, Mu'isyah. Nggak tahu pegimana mulanya bisa dipanggil Kicot. Cing Kicot orangnya selalu happy, persis seperti karakternya orang Betawi, selalu riang, ceria. Godaan Cing Kicot di atas bukan ledekan, tapi candaan biasa bagi orang kampung Ketapang, permukiman Betawi di pinggiran kota Jakarta. Yang digodain, biasanya nggak marah, malah bales ngegodain lagi.
Satu episode sandiwara kehidupan orang kecil pagi itu dilihat Luqman, yang juga oprang kecil. Betapa berartinya sepuluh ribu rupiah buat orang kecil macam Mpok Kimul. Sepuluh ruibu berarti bisa makan -- meskipun sederhana -- untuk satu hari. Ya, untuk mencari sepuluh ribu rupiah, Mpok Kimul rela keliling kampung buat jual bakwan jengkol bikinannya. Itupun sebenarnya masih harus dipotong modal bikinnya. Siangnya, Mpok Kimul bantuin nyuci di salah satu keluarga kaya di Kampung Ketapang.
Sekali lagi, begitu berharganya uang kecil sepuluh ribuan bagi orang kampung. Sementara itu, bagi orang kota, bensin mobilnya saja mungkin mencapai lima puluh ribuan per hari. Sinis kedengarannya. Tapi, biarlah. Tulisan ini bukan tulisan cengeng yang hendak memastikan perbedaan antara orang kaya dan orang miskin. Tulisan ini punya maksud memberi gambaran kepada mereka seharusnya malu dengan orang-orang kecil macam Mpok Kimul. Mereka susah payah mencari uang receh buat nyambung hidup, sementara itu ada yang susah payah mencari uang yang lebih banyak dengan yang Mpok Kimul cari, tapi lewat jalan pintas.
Cerita Mpok Kimul yang dagang bakwan Jengkol juga adalah cerita gagah perjuangan seorang ibu muda yang tidak bergantung sama suami. Cerita Mpok Kimul justru potret orang-orang terhormat, yang dilihat dari sisi perihnya mencari uang, untuk makan dari jalan yang halal. Sementara banyak orang terhormat, orang mulia yang justru menempuh cara-cara yang tidak terhormat dan hina.
Banyak yang lupa, memandang kehormatan dan kegagahan dengan ukuran materi. Lupa mengukurnya dari sisi bagaimana kemewahan materi itu didapat. Penghuni bumi boleh jadi terkesima, kagum, terkejut dengan kemewahan yang dipertontonkan seseorang. Tapi bagaimana penghuni langit, bila kemewahan tersebut dibangun di atas penderitaan orang lain, sama sekali tidak menimbulkan kekaguman apa-apa. Bagi penghuni langi, orang-orang papa seperti Mpok Kimul itulah yang lebih terhormat dan pantas dikagumi, daripada mereka yang naik mercy hasil nipu negara dan bangsa.
Mata kita sering tertipu. Lihat saja perlakuan kita. Kita kadang lebih kagum dengan si A demikian wangi, demikian perlente. Daripada si B yang cuma buruh pabrik, atau si C yang cuma guru SD. Sebagian kecil -- sekali lagi, sebagian kecil -- ada yang lebih sayang kepada anak atau menantu yang kaya meskipun kekayaaannya masih harus dipertanyakan ulang, daripada kepada anak atau mantu yang masih "mempertahankan" kemiskinannya karena mempertahankan kejujuran.
Menjadi kaya tidak dilarang oleh agama. Setidaknya ini menurut saya. Sebab, menjadi mukmin yang kuat (baik dari arti sesungguhnya maupun kiasan; kuat mental, kuat harta, kuat pendirian dan lain-lain) adalah jauh lebih baik dari pada menjadi mukmin yang lemah. Dengan menjadi kaya, kita berpeluang memberi manfaat yang punya nilai strategis buat sesama, lewat zakat dan sedekah. Dan dengan menjadi kaya, kita bisa membangun perekonomian umat. Yang dilarang adalah bila kekayaan diraih lewat cara-cara yang tidak terhormat. Atau kaya, tapi tidak mau berbagi.
Cing Kicot ini bibinya Maemunah, istri Luqman. Sebenarnya, namanya bagus, Mu'isyah. Nggak tahu pegimana mulanya bisa dipanggil Kicot. Cing Kicot orangnya selalu happy, persis seperti karakternya orang Betawi, selalu riang, ceria. Godaan Cing Kicot di atas bukan ledekan, tapi candaan biasa bagi orang kampung Ketapang, permukiman Betawi di pinggiran kota Jakarta. Yang digodain, biasanya nggak marah, malah bales ngegodain lagi.
Satu episode sandiwara kehidupan orang kecil pagi itu dilihat Luqman, yang juga oprang kecil. Betapa berartinya sepuluh ribu rupiah buat orang kecil macam Mpok Kimul. Sepuluh ruibu berarti bisa makan -- meskipun sederhana -- untuk satu hari. Ya, untuk mencari sepuluh ribu rupiah, Mpok Kimul rela keliling kampung buat jual bakwan jengkol bikinannya. Itupun sebenarnya masih harus dipotong modal bikinnya. Siangnya, Mpok Kimul bantuin nyuci di salah satu keluarga kaya di Kampung Ketapang.
Sekali lagi, begitu berharganya uang kecil sepuluh ribuan bagi orang kampung. Sementara itu, bagi orang kota, bensin mobilnya saja mungkin mencapai lima puluh ribuan per hari. Sinis kedengarannya. Tapi, biarlah. Tulisan ini bukan tulisan cengeng yang hendak memastikan perbedaan antara orang kaya dan orang miskin. Tulisan ini punya maksud memberi gambaran kepada mereka seharusnya malu dengan orang-orang kecil macam Mpok Kimul. Mereka susah payah mencari uang receh buat nyambung hidup, sementara itu ada yang susah payah mencari uang yang lebih banyak dengan yang Mpok Kimul cari, tapi lewat jalan pintas.
Cerita Mpok Kimul yang dagang bakwan Jengkol juga adalah cerita gagah perjuangan seorang ibu muda yang tidak bergantung sama suami. Cerita Mpok Kimul justru potret orang-orang terhormat, yang dilihat dari sisi perihnya mencari uang, untuk makan dari jalan yang halal. Sementara banyak orang terhormat, orang mulia yang justru menempuh cara-cara yang tidak terhormat dan hina.
Banyak yang lupa, memandang kehormatan dan kegagahan dengan ukuran materi. Lupa mengukurnya dari sisi bagaimana kemewahan materi itu didapat. Penghuni bumi boleh jadi terkesima, kagum, terkejut dengan kemewahan yang dipertontonkan seseorang. Tapi bagaimana penghuni langit, bila kemewahan tersebut dibangun di atas penderitaan orang lain, sama sekali tidak menimbulkan kekaguman apa-apa. Bagi penghuni langi, orang-orang papa seperti Mpok Kimul itulah yang lebih terhormat dan pantas dikagumi, daripada mereka yang naik mercy hasil nipu negara dan bangsa.
Mata kita sering tertipu. Lihat saja perlakuan kita. Kita kadang lebih kagum dengan si A demikian wangi, demikian perlente. Daripada si B yang cuma buruh pabrik, atau si C yang cuma guru SD. Sebagian kecil -- sekali lagi, sebagian kecil -- ada yang lebih sayang kepada anak atau menantu yang kaya meskipun kekayaaannya masih harus dipertanyakan ulang, daripada kepada anak atau mantu yang masih "mempertahankan" kemiskinannya karena mempertahankan kejujuran.
Menjadi kaya tidak dilarang oleh agama. Setidaknya ini menurut saya. Sebab, menjadi mukmin yang kuat (baik dari arti sesungguhnya maupun kiasan; kuat mental, kuat harta, kuat pendirian dan lain-lain) adalah jauh lebih baik dari pada menjadi mukmin yang lemah. Dengan menjadi kaya, kita berpeluang memberi manfaat yang punya nilai strategis buat sesama, lewat zakat dan sedekah. Dan dengan menjadi kaya, kita bisa membangun perekonomian umat. Yang dilarang adalah bila kekayaan diraih lewat cara-cara yang tidak terhormat. Atau kaya, tapi tidak mau berbagi.
Sumber : Buku Guru Kehidupan oleh Yusuf Mansur
Post a Comment